DAYAK KANAYATN



SUKU DAYAK KANAYATN

Dayak Kanayatn adalah salah satu dari sekian ratus sub suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, tepatnya di daerah kabupaten Landak,Kabupaten Pontianak, Serta Kabupaten Bengkayang, sebagian kecil di kabupaten Ketapang serta kabupaten Sanggau.
Pakaian Tradisional suku Dayak Kanayatn terbuat dari kulit Tarab atau Kapuak/Kapoa'. Bajunya berbentuk Rompi yang disebut Baju Marote atau baju uncit. Cawatnya terbuat dari Kain tenun atau kulit Kayu yang disebut Kapoa. Serta mahkota atau ikat kepala yang dalam bahasa ahe disebutTangkulas. Tangkulas ini biasanya dihiasi dengan bulu Ruai/Kuau Raja, serta bulu Enggang. Terkadang, jika bulu burung Ruai tidak ada, bisa diganti dengan Anjuang Merah.
Upacara adat yang biasa diadakan oleh suku ini antara lain Naik DangoMuakng RateGawai Dayak, dan lain-lain.


Naik Dango: Upacara Syukuran Padi dalam Masyarakat Dayak Kanayat'n
Naik Dango:
Upacara Syukuran Padi dalam Masyarakat Dayak Kanayatn

Abstraksi
Naik Dango adalah kegiatan ritual tahunan setelah masa panenan padi oleh masyarakat Dayak Kanayatn. Dango dalam bahasa Dayak Kanayatn berarti dangau atau pondok. Maksud Dango dibuat untuk berteduh di saat panas terik dan derasnya turun hujan. Adapun bentuknya sederhana serta bervariasi tergantung dari besar kecilnya ladang atau uma’. Dalam konteks ini Dango adalah lumbung tempat menyimpan padi yang pada umumnya dibangun di dekat atau sekitar tempat tinggal dilingkungan kampung. Di katakan “dango padi”, atau “ angko’ ” atau rumah padi. Menurut Dayak Kanayatn padi merupakan sumber hidup yang pokok dan memiliki sumangat yang hidup, karena itu mereka juga memerlukan tempat yang layak sebagai tempat kediaman (dango) seperti halnya manusia. Selain itu naik dango dipandang suatu kewajiban setelah panen padi. Maka naik dango adalah pesta atau acara yang di tunggu baik dari kalangan orang dewasa, anak-anak, maupun para warga tetangga.

Pengantar
Naik Dango adalah pesta puncak bagi masyarakat Dayak Kanayatn dalam mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen, yang dilakukan secara rutin setiap tahunnya, ditiap sub suku Dayak semua melakukannya, hanya sebutannya kadang ada yang berbeda, seperti sub Dayak Badamea disebut Ngabayatn, Badameo disebut Ngabayotn dll. Terserah apa saja sebutannya yang terpenting disini adalah makna yang terkandung dalam acara yang dilaksanakan dengan Naik Dango itu sendiri sama adanya . Naik Dango juga merupakan salah satu konsekuensi logis penghormatan tertinggi dari padi dalam masyarakat Kanayatn .
Keadaan letak geograpis, tempat maupun wilayah merupakan salah satu yang dapat membentuk watak, sikap dan tujuan hidup dari masyarakat yang ada di dalamnya. Begitupula dengan sosial budaya adalah dua bentuk nilai dan norma yang berasal dari hubungan antar masyarakat manusia, struktur kehidupan dan kualitas hidupnya yang dapat nampak lewat pikiran, kebiasaan, keterampilan, kesenian dan peralatan yang di ciptakan, dimiliki dan digunakan . Hubungan ini terjalin baik di dalam (intra) maupun diluar (antar) masyarakat yang bersangkutan.
Karena itu setiap masyarakat suku bangsa memiliki kekhasan baik dalam mengolah, menilai dan memandang alam/lingkungannya. Yang pada akhirnya terbentuk suatu kebiasaan yang disebutkan dalam kebudayaan. Terbentuknya suatu kebudayaan di satu lingkungan menghantar masyarakat itu sendiri, pada suatu sikap ’pasrah’ kepada Tuhan dan berterimakasih. Rasa syukur dan terimakasih dalam pesta naik dango diwujudkan dengan ritual kepercayaan, yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka. Ritual ini juga mau menunjukkan bahwa orang Dayak Kanayatn mau membalas segala kebaikan (jubata) karena telah memberikan atau menurunkan berkat atas semua usaha mereka sepanjang tahun. Ritual ini dinamakan naik dango atau tutup tahun’t/naikan’t padi.

Sepintas Mengenai Orang Dayak Kanayatn
Sebutan Dayak sendiri sebenarnya sangat heterogen, karena terdiri dari komunitas-komunitas kecil yang memilik logat bahasa yang berbeda dan tradisi adat yang tidak persis sama. Orang Dayak juga disebutkan bagi mereka yang non muslim di Kalimantan . sebutan Dayak tidak hanya mengacu atau mengarah pada salah satu suku asli Kalimantan, melainkan sebutan bagi keseluruhan suku asli Kalimantan. Sebab sub suku asli Kalimantan memiliki nama sendiri. Salah satu bagian dari sub suku dayak yang ada ialah Dayak Kanayatn.
Orang Dayak Kanayatn banyak bermukim di daerah pedalaman dengan pola hidup, prilaku dan budaya yang berbeda dari suku-suku yang ada di Kalimantan Barat. sub suku Dayak Kanayatn merupakan rumpun yang besar diantara sub suku Dayak yang ada di Kalimantan. Pada umumnya suku Dayak Kanayatn menetap jauh dari pengaruh luar. Tidak heran jika mereka dinamakan “orang bukit”, dan sebagian mereka masih menganut kepercayaan lama (pagan), serta sebagian lagi belum mengenal membaca menulis dan di daerah tertentu masih melakukan pangayauan (head hunter) . Sub suku Dayak Kanayatn dapat dijumpai di daerah Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, dan Kabupten Sambas dan di Kota Madya Pontianak dan Singkawang sebagian. Sub suku Dayak Kanayatn mempunyai beberapa bahasa yang hampir sama dari segi kosa-kata, namun ada yang berbeda sama-sekali (darit, bakati’, ba’damea, ba’nana’, m’pape, ba’nyadu’k, dll).

Ucapan Syukur
Salah satu bentuk kebudayaan Dayak Kanayatn yang masih hidup pada saat ini adalah pesta gawai yang dilaksanakan setiap tahun, selesai panen padi. Sebab pesta ini merupakan puncak dari sistem perladangan orang dayak. Pesta ini merupakan upacara ritual yang sangat penting dalam tatanan kehidupan Dayak Kanayatn. Pesta ini juga adalah ucapan syukur atas segala jerih payah berladang selama setahun dalam bentuk padi dan jenis usaha pertanian lainnya. Tujuan lain yakni untuk meminta agar padi mendapat berkat dan di jauhkan dari hama, penyakit serta menghendaki sumangat mau tinggal di dalam dango’. Dalam upacara naik dango juga terkandung suatu nilai religius yang menyatakan bahwa masyarakat Dayak Kanayatn menempatkan Nek Jubata, Nek Panampa’ (Sang Pencipta) sebagai pusat dalam pengaturan pusat makro kosmos.. Jadi ungkapan syukur ini berupa apa saja yang telah diperoleh atas karunia Nek Jubata yang diserahkan kembali kepada Nya untuk disimpan.
Adapun tahapan dalam Upacara tersebut, yakni sebelum hari H terlebih dahulu melantunkan mantra (nyangahatn), yang disebut “Matek” oleh panyangahatn (imam adat). Tujuannya ialah memberitahukan dan memohon restu kepada Jubata bahwa besok akan diadakan pesta Adat. Kemudian anggota keluarga mempersiapkan beberapa keperluan yang disebut macah/batutuk. Macah atau batutuk artinya menumbuk padi dan beras ketan yang telah direndam dalam lesung oleh kaum ibu dan remaja putri. Padi dan beras yang ditumbuk, kemudian di olah sesuai dengan keperluan adat. sedangkan kaum lelaki mencari buluh untuk memasak poe’ (lemang) dan mempersiapkan keperluan-keperluan adat.
Selanjutnya pada hari H (saat pesta) dilaksanakan tiga kali nyangahatn, pertama nyangahatn ka’Sami’ (ruang tamu), yaitu memanggil jiwa atau semangat padi yang belum kembali agar datang atau pulang kembali ke rumah adat. Kedua nyangahatn di Baluh atau Langko’ (di lumbung padi) tujuannya yaitu untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi. Ketiga, nyangahatn di pandarengan (sejenis tempayan tempat menyimpan beras) tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis. Dengan itu mau dikatakan bahwa nyangahatn menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh-roh, para Jubata yang diundang .
Bagi orang Dayak “nyangahatn” (doa) bersifat mutlak dalam atau untuk setiap upacara adat disertai perangkat perlengkapan. perangkat adat yang diperlukan sebagai kurban bakti upacara matek’ terdiri dari tumpi’ sungguh, tungkat/soengn’k poe’, karake’k masak (kapur, gambir dan pinang yang siap dikunyah, ditambah gulungan rokok daun nipah) . Pada hari H nyangahatn merupakan inti kegiatan ritual dengan pembacaan doa yang dilakukan oleh “Panyangahatn”. Doa-doa yang diucapkan imam adat berbentuk mantra-mantra yang berisi atau berbunyi untuk pemanggilan pulang sumangat padi yang masih layo (diperjalanan).

Aspek yang terkandung dalam Ritual Naik Dango
Pada dasarnya Naik Dango melingkupi seluruh aspek budaya Masyarakat Dayak Kanayatn, tetapi dalam konteks ini ada tiga hal yang pokok dan dapat dikatakan sebagai intinya.
Pertama, latar belakang kehidupan masyarakat Dayak yang pada umumnya sebagai petani. Dalam perwujudan itu naik dango merupakan puncak dari usaha keberhasilan mereka dalam bekerja. Naik dango bagi masyarakat Dayak Kanayatn merupakan wujud tanggung jawab moral keluarga maupun masyarakat kepada Jubata Nek Panampa ( Tuhan Yang Mahakuasa).
Kedua, aspek religius. Naik dango Sebagai upacara syukur kepada Jubata yakni setelah penyimpanan padi ke dalam angko’/jangkekng (Dango). Pada saat kegiatan panenan selesai nyangahatn dilaksanakan, ini dimaksudkan untuk mengakhiri penanggalan atau kalender agraris dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Dalam ritual ini ada yang disebut Pantaran’t (peralatan/bahan pokok yang diperlukan pada saat nyangahatn), yang diletakkan dalam talam/piring putih. Yang lainnya buis, kemudian rangkakng manok yakni ayam yang sudah di panggang dengan dada terbelah masih utuh dengan isi tubuh terkecuali usus. Rangkakng ini ditaruh diatas pahar dengan posisi terlentang. Dalam persembahan nyangahatn untuk naik ke dango padi, sekurang-kurangnya tiga rangkakng manok satu diantaranya pejantan. Sedangkan untuk pabaras atau ka’sami’, (di rumah adat) masing-masing satu ekor. Di pantarant terdapat poe’(ketan yang dimasak di bambu), tumpi sungguh (cucur), masing-masing satu piring dan tungkat saroas (ketan yang dimasak di bambu), bayungn’k man ai’panyasahatn (beliung digunakan sebagi lonceng yang dipukul dengan besi dan air pencuci). Bahan-bahan lainnya seperti baras banyu (beras yang dicampur dengan minyak kelapa), baras basah (beras yang dicuci) dan langir minyak (buah langir bercampur minyak kelapa). Dari perlengkapan persembahan diatas bisa diartikan bahwa Naik Dango memiliki makna religius yang mendalam bagi masyarakat Dayak Kanayatn.
Ketiga, aspek kekeluargaan, solidaritas, dan persatuan. Penyelenggaraan Naik Dango yang dilakukan serentak dalam wilayah kesatuan adat tertentu (binua) memungkinkan untuk saling mengunjungi antara keluarga terdekat. Sebab pada hari itu semua anggota keluarga berkumpul dirumah masing-masing. Jika di antara binua yang satu dengan yang lain pelaksanaannya berbeda, maka keluarga-keluarga yang telah merayakan naik dango dapat mengunjungi keluarga atau saudaranya yang sedang melaksanakan pesta naik dango. Dengan demikian hubungan keluarga baik intern maupun ekstern dapat dibina secara berkelanjutan. Dengan demikian naik dango merupakan hal yang hakiki dalam tatanan kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn.
Dalam kemasan modern, upacara Adat naik Dango ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pameran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Naik Dango lebih menonjol sebagai pesta dari pada upacara ritual. Namun dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.

Penutup-Refleksi
Kepercayaan religio-magis dalam Masyarakat Dayak Kanayatn adalah salah satu perwujudan penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa . Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kanayatn antara lain, yaitu pertama: ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.
Konsili Vatikan II, dalam (LG. 8) dengan tegas mengakui nilai-nilai positif yang terkandung dalam hidup religius itu sendiri, yang terdapat, dalam sistem religi beberapa suku bangsa. Sebab gereja mengakui bahwa diluar persekutuan Gereja juga terdapat bayak unsur kekudusan yang bermanfaat bagi penghayatan dan pengembangan iman umat beriman.
Pandangan positif dan tegas pula yang tampak dalam “Evangelisasi dan Paus Pulus VI yang menyatakan bahwa “religiositas rakyat kalau diarahkan secara baik terlebih suatu pedagogi Evangelisasi, bisa terikat nilai-nilai yang kaya dalam religiositas rakyat” karena melalui religiositas rakyat mampu/biasa mengungkapkann rasa hausnya akan Allah yang hanya dapat dikenal serta dihayati oleh orang-orang sederhana dan miskin, melalui itu pula rakyat membentuk hidup .
Diharapkan juga spiritualitas kekristenan mampu mengupayakan ‘pencarian’ bagi penyucian diri untuk dipertumbuhkan dalam kebajikan dan pembebasan dari dosa, yang diilhami keinginan untuk menyatu dengan Allah melalui perjuangan hidup dan demi nilai-nilai transenden yang memungkinkan manusia mencapai ‘kekudusan’, kesempurnaan dan keselamatan dalam Allah, karena Yang Kudus memanggil manusia untuk hidup dalam kekudusanNya, yaitu hidup dalam kesatuan dengan Allah.

Gawai Dayak


Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern.

Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) pada tahun 1986. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kalbar setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran sehabis panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.

Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Acaranya pun hanya terbatas pada nyangahathn (pelantunan doa/mantra) dan saling kunjung dengan suguhan utamanya seperti: salikat/poe‘ (lemang/pulut dalam bambu), tumpi‘ (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya. Gawai tradisional pelaksanaannya memakan waktu sampai tiga bulan, yakni sekitar April sampai Juni. Karena itulah, Gubernur Kalbar, Kadarusno mengarahkan agar upacara syukuran ini dilaksanakan pada tanggal 20 Mei setiap tahun. Pada saat ini di beberapa daerah kabupaten acara syukuran ini telah dimodifikasi dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten. Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah yang bersangkutan, dan daerah lainnya yang bersedia mengikuti acara tersebut. Di tingkat provinsi acara yang sama disebut Gawai Dayak atau Upacara Adat Gawai Dayak.


Gawai Dayak sebagai Upacara Adat
   
Telah dikemukakan Gawai Dayak adalah nama lain upacara adat syukuran pascapanen di Pontianak. Hakikatnya sama dengan Naik Dango, atau Maka‘ Dio. “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Gubernur Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.

“Orang Dayak paling tidak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu, upacara adat Naik Dango atau Ka‘ Pongo”, (1999:2). Sebelum hari H dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut matik. Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan dilaksanakan pesta adat. Pada hari H dilaksanakan upacara adat dengan nyangahathn di ruang tamu (sami), memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali, nyangahathn di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya, dan nyangahatn di tempayan beras (pandarengan) tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis.

Nyangahathn dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Bahari Sinju dkk. (1996:146), berpandangan bahwa Nyangahatn adalah wujut upacara religius. Ia menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci, para jubata yang diundang, dan tentu saja konteksnya. Dari segi tahapannya nyangahatn terbagi menjadi (1) matik, (2) ngalantekatn, (3) mibis, dan (4) ngadap Buis. Matik bertujuan memberitahukan hajat keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan jubata. Ngalantekatn bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat. Mibis bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah barat. Terakhir adalah ngadap buis, yakni tahapan penerimaan sesajian (buis) oleh awa pama dan jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram.
Dilihat dari kondisi bahan yang digunakan, tahapan pertama sampai ketiga, disebut nyangahatn manta, yakni nyangahathn dengan bahan yang belum masak (mentah), sedangkan ngadap buis disebut nyangahathn masak, disiapkan dengan bahan-bahan yang siap hidang (sudah masak). Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa ungkapan/doa pendek dengan sajian sederhana: nasi, garam, dan sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok daun nipah), nyangahathn sederhana ini disebut babamang.

Gawai Dayak atau Naik Dango didasari mitos asal mula padi yang populer di kalangan orang Dayak Kalbar, yakni cerita nek baruang kulup. Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik jubata di Gunung Bawakng yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ke tangan nek jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput menyebabkan ia diejek, dan keinginan membudidayakannya menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata, adalah nek baruang kulup. Nek baruang kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada talino (manusia,) lantaran ia suka turun ke dunia bermain gasing. Perbuatan ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawakng dan akhirnya kawin dengan manusia. Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan, sebagai pengganti kulat (jamur) bagi manusia. Namun, untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan jubata inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango.

    

Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Gawai Dayak

1. Spirit Kelompok Urban
     

Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari spirit kelompok urban asal Dayak. Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit. Meski demikian, beberapa figur telah ada yang aktif di partai, antara lain, PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Dayak.

Pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda), yang salah satu tugasnya adalah mengorganisasikan pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak, yang selanjutnya berubah menjadi Gawai Dayak. Keinginan untuk saling memperkuat dan memperkenalkan tradisi Dayak mendorong kehadiran simbol yang dapat menjadi perekat sesama orang Dayak. Gawai Dayak menjadi simbol yang menyadarkan bahwa setiap Dayak berasal dari leluhur dan budaya yang sama. Simbol ini telah menjadi media untuk menyegarkan kesadaran akan tradisi masa lalu di antara sesama urban selama kurang lebih dari satu dasa warsa.

Bolehjadi Sekberkesda pada mulanya merupakan sarana politik. Namun, keberadaan organisasi ini menandai awal perhatian dan kecintaan terhadap budaya Dayak di kalangan Dayak di perkotaan secara terorganisasi dalam lingkup yang lebih luas daripada sekedar sanggar-sanggar. Hal ini terlihat dari bergabungnya sekitar 8 buah sanggar pada waktu itu. Manufer di sektor politik pada waktu itu berdampak positif, yakni memajukan perhatian untuk mengembangkan seni budaya Dayak di Pontianak.


2. Telah Bertahan Lebih dari Satu Dasa Warsa
   
Jika dihitung dari dilaksanakannya Malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya, 30 Juni 1986, upacara adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 10 tahun. Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992, nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak, yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan. Namun, pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu mulus. Gejolak konflik bernuansa etnis yang terjadi berulang kali di Pontianak berdampak pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal, bahkan ditiadakan.

Kemampuannya bertahan lebih dari sepuluh tahun menunjukkan bahwa Gawai sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Dayak di Pontianak. Ia telah menjadi media yang dibutuhkan untuk menyegarkan semangat solidaritas sesama Dayak dalam lingkaran rutinitas kehidupan kota.


3. Dukungan Masyarakat Budaya
     

Kemampuannya bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah, kepentingan pengembangan periwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang bernuansa politis. Namun, Gawai Dayak sebagian besar mendapat dukungan masyarakat budaya; dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya. Pada saat ini, Sekberkesda didukung oleh lebih kurang 23 sanggar yang dapat dilihat sebagai representiasi berbagai kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak.

Dukungan ini menjadi faktor kekuatan yang luar biasa. Yang masih menjadi persoalan bagi Sekberkesda adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan itu, bagaimana mengembangkan Sekberkesda menjadi lembaga yang dapat berbuat optimal dalam mengembangkan dan mendayagunakan potensi yang ada., termasuk mengangkat Gawai Dayak menjadi peristiwa budaya bertaraf nasional, bahkan internasional

Asal Mula Naik Dango
By. Tri Astuti
Editor. M.Natsir
Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi popular di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena tidak sunat. Cerita itu dimulai dari cerita asal mula padi berasal dari setangkai padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan Ne Jaek (Nenek Jaek) yang sedang mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala yang dia bawa menyebabkan ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan pertentangan di antara mereka sehingga ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata adalah Ne Baruankng Kulup. Ne Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain “Gasing”. Perbuatannya ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia. Ne Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan sumber kehidupan manusia, sebagai penganti “kulat” (jamur, makanan manusia sebelum mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan manusia dan jubata yang menunjukan kebaikan hati Jubata bagimanusia.
Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kendayan antara lain , yaitu pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas. Dalam kemasan modern, upacara Adat naik Dango ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pameran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Naik Dango lebih menonjol sebagai pesta dari pada upacara ritual. Namun dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.
Upacara Naik Dango Suku Dayak Kalbar merupakan kegiatan ritual Suku Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat, upacara ritual Naik Danggo ini merupakan kegiatan panen padi atau pesta padi sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Dayak Kanayatn kepada Nek Jubata (Sang Pencipta) terhadap segala hasil yang telah diperoleh. Melalui upacara Naik Danggo suku Dayak Kalbar (Dayak Kanayatn) ini mereka merefleksikan kegiatan yang sudah lalu dihubungkan dengan kebesaran Nek Jubata. Upacara ritual pesta padi ini kerap dilaksanakan rutin setiap tahun dan dilaksanakan secara bergiliran di Kabupaten dan Kota di Kalbar, sebagai contoh Upacara Naik Danggo ke VII pernah dilaksanakan di Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat tepatnya di Desa Lingga, Kecamatan Sei. Ambawang pada tanggal 27 April 1992 dan 1993 upacara Naik Dango suku Dayak Kalbar diadakan di Kecamatan Menjalin, sedangkan pada tahun 2009 Naik Danggo diadakan di Singkawang. Melalui kegiatan ini pula diharapkan dapat melestarikan berbagai seni kebudayaan Dayak yang memang memiliki beranekaragam pesona dalam bingkai kekayaan budaya Nusantara.

A. Gawai Dayak Sebagai Budaya
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern. Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) pada tahun 1986.Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kalbar setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran sehabis panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange. Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Acaranya pun hanya terbatas pada nyangahathn (pelantunan doa/mantra) dan saling kunjung dengan suguhan utamanya seperti: salikat/poe‘ (lemang/pulut dalam bambu), tumpi‘ (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.
Gawai tradisional pelaksanaannya memakan waktu sampai tiga bulan, yakni sekitar April sampai Juni. Karena itulah, Gubernur Kalbar, Kadarusno mengarahkan agar upacara syukuran ini dilaksanakan pada tanggal 20 Mei setiap tahun. Pada saat ini di beberapa daerah kabupaten acara syukuran ini telah dimodifikasi dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten. Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah yang bersangkutan, dan daerah lainnya yang bersedia mengikuti acara tersebut. Di tingkat provinsi acara yang sama disebut Gawai Dayak atau Upacara Adat Gawai Dayak.

B. Gawai Dayak sebagai Upacara Adat
Telah dikemukakan Gawai Dayak adalah nama lain upacara adat syukuran pascapanen di Pontianak. Hakikatnya sama dengan Naik Dango, atau Maka‘ Dio. “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Gubernur Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.
“Orang Dayak paling tidak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu, upacara adat Naik Dango atau Ka‘ Pongo”, (1999:2). Sebelum hari H dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut matik. Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan dilaksanakan pesta adat. Pada hari H dilaksanakan upacara adat dengan nyangahathn di ruang tamu (sami), memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali, nyangahathn di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya, dan nyangahatn di tempayan beras (pandarengan) tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis. Nyangahathn dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Bahari Sinju dkk. (1996:146), berpandangan bahwa Nyangahatn adalah wujut upacara religius. Ia menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci, para jubata yang diundang, dan tentu saja konteksnya. Dari segi tahapannya nyangahatn terbagi menjadi (1) matik, (2) ngalantekatn, (3) mibis, dan (4) ngadap Buis. Matik bertujuan memberitahukan hajat keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan jubata. Ngalantekatn bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat. Mibis bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah barat.
Terakhir adalah ngadap buis, yakni tahapan penerimaan sesajian (buis) oleh awa pama dan jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram. Dilihat dari kondisi bahan yang digunakan, tahapan pertama sampai ketiga, disebut nyangahatn manta, yakni nyangahathn dengan bahan yang belum masak (mentah), sedangkan ngadap buis disebut nyangahathn masak, disiapkan dengan bahan-bahan yang siap hidang (sudah masak). Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa ungkapan/doa pendek dengan sajian sederhana: nasi, garam, dan sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok daun nipah), nyangahathn sederhana ini disebut babamang.Gawai Dayak atau Naik Dango didasari mitos asal mula padi yang populer di kalangan orang Dayak Kalbar, yakni cerita nek baruang kulup. Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik jubata di Gunung Bawakng yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ke tangan nek jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput menyebabkan ia diejek, dan keinginan membudidayakannya menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata, adalah nek baruang kulup.
Nek baruang kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada talino (manusia,) lantaran ia suka turun ke dunia bermain gasing. Perbuatan ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawakng dan akhirnya kawin dengan manusia. Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan, sebagai pengganti kulat (jamur) bagi manusia. Namun, untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan jubata inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango.

C. UPACARA ADAT NAIK DANGO
Upacara adat Naik Dango adalah sebuah upacara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Nek Jubata (sang pencipta) atas hasil panen padi yang melimpah. Selain untuk bersyukur, masyarakat Dayak di Kalimantan Barat melakukan upacara Naik Dango ini juga untuk memohon kepada Sang Pencipta agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan malapetaka.
Tahap pelaksanaan upacara Naik Dango yaitu sebagai berikut :
1. Sebelum hari pelaksanaan Sebelum hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan pelantunan mantra (nyangahathn) yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada Jubata.
2. Saat hari pelaksanaan Pada hari pelaksanaan dilakukan
3. Kali nyangahathn :
• pertama di Sami, bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang agar datang kembali ke rumah adat.
• kedua di Baluh/Langko, bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi.
• ketiga di Pandarengan, tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.
Naik Dango merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kendayan yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Dalam Upacara Adat Naik Dango, selain acara inti yakni “nyangahathn”. Upacara Adat Naik Dango intinya hanya berlangsung satu hari saja tetapi karena juga menampilkan berbagai bentuk budaya tradisional di antaranya berbagai upacara adat, permainan tradisional dan berbagai bentuk kerajinan tangan yang juga bernuansa tradisional, sehingga acara ini berlangsung selama tujuh hari. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Upacara Adat Naik Dango ini, menjadikannya sebagai even yang eksotis ditengah-tengah kesibukan masyarakat Dayak. Upacara Adat Naik Dango merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (SEKBERKESDA) pada tahun 1986.3 perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat ucapan syukur kepada Jubata yang dilaksanakan Masyarakat Dayak Kendayan di Menyuke setiap tahun setelah masa panen padi usai.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan Upacara Adat pasca panen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketemanggungan. Inti dari upacara ini adalah nyangahathn yaitu pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi cucur), bontonkng (nasi yang dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.
D. Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Gawai Dayak
a. Spirit Kelompok Urban
Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari spirit kelompok urban asal Dayak. Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit. Meski demikian, beberapa figur telah ada yang aktif di partai, antara lain, PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Dayak. Pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda), yang salah satu tugasnya adalah mengorganisasikan pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak, yang selanjutnya berubah menjadi Gawai Dayak.
Keinginan untuk saling memperkuat dan memperkenalkan tradisi Dayak mendorong kehadiran simbol yang dapat menjadi perekat sesama orang Dayak. Gawai Dayak menjadi simbol yang menyadarkan bahwa setiap Dayak berasal dari leluhur dan budaya yang sama. Simbol ini telah menjadi media untuk menyegarkan kesadaran akan tradisi masa lalu di antara sesama urban selama kurang lebih dari satu dasa warsa. Bolehjadi Sekberkesda pada mulanya merupakan sarana politik. Namun, keberadaan organisasi ini menandai awal perhatian dan kecintaan terhadap budaya Dayak di kalangan Dayak di perkotaan secara terorganisasi dalam lingkup yang lebih luas daripada sekedar sanggar-sanggar. Hal ini terlihat dari bergabungnya sekitar 8 buah sanggar pada waktu itu. Manufer di sektor politik pada waktu itu berdampak positif, yakni memajukan perhatian untuk mengembangkan seni budaya Dayak di Pontianak.
b. Telah Bertahan Lebih dari Satu Dasa Warsa
Jika dihitung dari dilaksanakannya Malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya, 30 Juni 1986, upacara adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 10 tahun. Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992, nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak, yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan. Namun, pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu mulus. Gejolak konflik bernuansa etnis yang terjadi berulang kali di Pontianak berdampak pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal, bahkan ditiadakan. Kemampuannya bertahan lebih dari sepuluh tahun menunjukkan bahwa Gawai sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Dayak di Pontianak. Ia telah menjadi media yang dibutuhkan untuk menyegarkan semangat solidaritas sesama Dayak dalam lingkaran rutinitas kehidupan kota.
c. Dukungan Masyarakat Budaya
Kemampuannya bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah, kepentingan pengembangan periwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang bernuansa politis. Namun, Gawai Dayak sebagian besar mendapat dukungan masyarakat budaya; dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya. Pada saat ini, Sekberkesda didukung oleh lebih kurang 23 sanggar yang dapat dilihat sebagai representiasi berbagai kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak. Dukungan ini menjadi faktor kekuatan yang luar biasa. Yang masih menjadi persoalan bagi Sekberkesda adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan itu, bagaimana mengembangkan Sekberkesda menjadi lembaga yang dapat berbuat optimal dalam mengembangkan dan mendayagunakan potensi yang ada., termasuk mengangkat Gawai Dayak menjadi peristiwa budaya bertaraf nasional, bahkan internasional

A. Kesimpulan
Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi popular di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena tidak sunat. Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern. Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak.
Telah dikemukakan Gawai Dayak adalah nama lain upacara adat syukuran pascapanen di Pontianak. Hakikatnya sama dengan Naik Dango, atau Maka‘ Dio. “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Gubernur Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango. Upacara adat Naik Dango adalah sebuah upacara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Nek Jubata (sang pencipta) atas hasil panen padi yang melimpah. Selain untuk bersyukur, masyarakat Dayak di Kalimantan Barat melakukan upacara Naik Dango ini juga untuk memohon kepada Sang Pencipta agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan malapetaka. Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari spirit kelompok urban asal Dayak. Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit. Meski demikian, beberapa figur telah ada yang aktif di partai, antara lain, PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Dayak. Pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda), yang salah satu tugasnya adalah mengorganisasikan pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak, yang selanjutnya berubah menjadi Gawai Dayak.
Jika dihitung dari dilaksanakannya Malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya, 30 Juni 1986, upacara adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 10 tahun. Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992, nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak, yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan. Namun, pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu mulus. Kemampuannya bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah, kepentingan pengembangan periwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang bernuansa politis. Namun, Gawai Dayak sebagian besar mendapat dukungan masyarakat budaya; dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya



Daftar isi




Sistem Religi

Religi asli suku Dayak Kanayatn tidak terlepas dari adat istiadat mereka. Bahkan dapat dikatakan adat menegaskan identitas religius mereka. Dalam praktik sehari-hari, orang dayak kanayatn tidak pernah menyebut agama sebagai normativitas mereka, melainkan adat. Sistem religi ini bukanlah sistem hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh orang-orang pada umumnya.

Orang Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di bukit bawakng ( sekarang masuk wilayah kabupaten Bengkayang ). Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka memiliki tempat ibadah yang disebut panyugu atau padagi. Selain itu diperlukan juga seorang imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara manusia dengan Tuhan ( Jubata ).
Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut agama Kristen dan segelintir memeluk Islam. Kendati sudah memeluk agama, tidak bisa dikatakan bahwa orang Dayak Kanayatn meninggalkan adatnya. Hal menarik ialah jika seorang Dayak Kanayan memeluk agama Islam, ia tidak lagi disebut Dayak, melainkan Melayu atau orang Laut

Bahasa

Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan yang serumpun. Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa', songga batukng-ngalampa' dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru.


Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti ,bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.

Lembaga Adat

Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul keturunan diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya.

Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang dusebut binuaBinua merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampung (dulunya radakng/ bantang). Masing masingbinua punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binua yang satu tidak dapat mengintervensi hukum adat di binua lain.
Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong(kepala desa). timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (pengurus adat) dan pangaraga (pengacara adat). Ketiga pilar inilah yang menjadi lembaga adat Dayak Kanayatn

Sistem Kekerabatan

Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.


Lagu Daerah Dayak Kanayatn

Kao ada ka atiku

Pranala luar

Dayak Kanayatn

Referensi

Dayak Kanayatn di situs Burung-keto.blogspot.com

  • Thesis : Tradisi Pantak Suku Dayak Kanayatn, Fidelis Sajimin, STT Pastor Bonus Pontianak, 2006.
  • Dunselman Donatus, Bijdrage Tot Kennis van Taal En Adat der Kendajan-Dajaks van West Borneo, 1949.
  • Kedaulatan Masyarakat Adat Yang Teraniaya, Pontianak, Lembaga Bela Banua Talino, 2003.

Jumat,20 des 13

PANDANGAN DAN MAKNA HAKIKI NAIK DANGO
(Pada Masyarakat Dayak Kanayan’t)

Pendahuluan
Setiap suku bangsa memiliki kekhasan baik dalam mengolah, menilai dan memandang alam/lingkungannya. Pola pikir yang demikian, kemudian membentuk suatu kebiasaan yang disebutkan dalam kebudayaan. Terbentuknya suatu kebudayaan di suatu lingkungan menghantar masyarakat itu sendiri, pada suatu sikap pasrah kepada Tuhan  dan mengucap syukur.
            Masyarakat Dayak Kanayan’t, sebagian besar adalah masyarakat agraris. Mereka hidup dari hasil bumi dan bertumpu pada alam. Kesadaran akan Alam yang adalah hasil karya dari Allah, menghantar mereka pada pemikiran untuk mengembalikannya kembali kepada-Nya. Ungkapan itu diwujudkan dalam acara Naik Dango. [1]

Asal Usul Naik Dango
            “Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi populer di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena tidak sunat. Cerita itu dimulai dari cerita asal mula padi berasal dari setangkai padi milik Jubata[2] di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan Ne Jaek (kakek Jaek) yang sedang mengayau.[3] Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala yang dia bawa menyebabkan ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan pertentangan di antara mereka sehingga ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata adalah Ne Baruankng Kulup. Ne Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain Gasing. Perbuatannya ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia. Ne Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan sumber kehidupan manusia, sebagai penganti kulat (jamur, makanan manusia sebelum mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia”.[4]

Makna dan Hakiki Naik Dango
            Tujuan Upacara Adat Naik Dango adalah mengadakan pesta selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata. Upacara Adat Naik Dango merupakan ungkapan syukur atas keamanan, kesehatan dan hasil panen padi yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan.
            Naik Dango adalah pesta puncak bagi masyarakat Dayak dalam mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen, yang dilakukan secara rutin setiap tahunnya, ditiap sub suku Dayak semua melakukannya, hanya sebutannya kadang ada yang berbeda, seperti sub Badamea =Ngabayatn, Badameo = Ngabayotn dll. Terserah apa saja sebutannya yang terpenting disini adalah makna yang terkandung dalam acara yang dilaksanakan dengan Naik Dango itu sendiri sama adanya. Naik Dango juga merupakan salah satu konsekuensi logis penghormatan tertinggi dari padi dalam masyarakat Kanayatn[5].
            Naik Dango dikembalikan pada hakekatnya, adalah ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas nikmat yang diterima. Sama halnya dengan berbagai hari raya keagamaan, yang merupakan kewajiban bagi umatnya untuk merayakannya, dengan atau tidak dengan sebuah pesta yang meriah.
            Naik Dango, selain dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur kepada Jubata, juga menjadi sarana silaturahmi inter-antar keluarga dan kerabat serta siapa saja yang mau datang pada acara tersebut tanpa dibatasi oleh sesuatu hal yang bersifat formal.
            Dengan melakukan acara pesta dan makan-makan dalam dalam Naik Dango ini, orang yang memiliki cara pandang ekonomisme selalu berpendapat lain, bahkan di kalangan Dayak sendiripun kadang-kadang ada yang tidak setuju dengan acara yang demikian, bahkan ada ungkapan yang lebih ekstrim lagi mengatakan “bagaimana orang Dayak bisa kaya, karena hasil yang didapat habis untuk pesta dan hura-hura”. Jika kita menariknya hanya dari sisi ekonomis semata, ada benarnya ungkapan yang demikian, tanpa di tarik dari sisi pemahaman lain. Jika kita masih percaya pada Jubata/Tuhan yang merupakan sumber nikmat yang kita terima, maka kita juga harus mampu memahami makna rejeki sebagai nikmat yang dititipkan oleh Sang Pencipta kepada kita untuk kelola dan dimanfaatkan sebaik mungkin.
            Kita yang dititipi rejeki tersebut sesungguhnya yang dipercaya oleh-Nya, bukan sebagai pemilik tunggal dari apa yang didapatkan (rejeki), baca “Lukas, 21:48. Setiap orang yang banyak diberi, daripadanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, kepadanya akan lebih banyak dituntut”.Tuntutan yang dimaksudkan disini adalah pengabdian diri, pengabdian yang dimaksudkan oleh-Nya, tidak sekedar bisa bersyukur lewat doa, atau persembahan kecil dalam bentuk sesajen, namun lebih daripada itu yang diinginkan oleh-Nya.
            Berbagi rasa terhadap sesama, termasuk di dalamnya mendistribusikan rejeki yang diterima dari-Nya yang disebut dengan “berbudi” terhadap sesama. Demikianlah salah satu pemaknaan pesta adat Naik Dango yang dilakukan di kalangan masyarakat Dayak pada umumnya. Memang kalau kita tanya satu persatu dari orang Dayak, tentang pesta Naik Dango yang mereka laksanakan setiap akhir tahun panen, mereka akan mengatakan “Naik Dango adalah ungkapan rasa syukur atas hasil panen”dan hanya itu, kita tidak bisa berpikir naif untuk memaknai syukur yang mereka ucapkan dalam pandangan sempit, namun syukur yang dimaksudkan mengandung unsur yang sangat luas dan dalam.
            Pesta Naik Dango menjadi sebuah ekspresi ungkapan “rasa”, yang diekspresikan dalam bentuk pesta dengan menyatakan rasa syukur, rasa bahagia dan lain sebagainya. Pesan orang tua yang bijak terhadap anaknya demikian “jika kamu mendapatkan sesuatu apapun bentuknya, jangan lupa mengucap syukur, sebab segala sesuatu yang kamu cari dan akhirnya kamu dapatkan, ada pemiliknya” Bagi orang Dayak, mensyukuri menjadi bagian yang utama, itu sebabnya Naik Dango bukanlah sekedar pesta untuk kesenangan dan hura-hura semata.

Penutup
            Naik Dango yang dilaksanakan oleh suku Dayak Kanayat’n adalah sebagai budaya yang turun-temurun dari para leluhur. Tujuan utama dari naik dango adalah sebagai ucapan syukur atas kerja jerih payah sistem perladangan selama setahun.
            Naik Dango yang  diselenggarakan oleh setiap kepala keluarga juga merupakan sebagai ungkapan rasa saling memberi karena telah menerima. Selain itu, ajang ini juga memberikan suatu kesempatan untuk saling mengunjungi antar keluarga (wadah silaturahmi)

Budaya Naik Dango suku Dayak Kanayatn
NAIK DANGO:
Upacara Naik Dango Suku Dayak Kalbar merupakan kegiatan ritual Suku Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat, upacara ritual Naik Danggo ini merupakan kegiatan panen padi atau pesta padi sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Dayak Kanayatn kepada Nek Jubata (Sang Pencipta) terhadap segala hasil yang telah diperoleh. Melalui upacara Naik Danggo suku Dayak Kalbar (Dayak Kanayatn) ini mereka merefleksikan kegiatan yang sudah lalu dihubungkan dengan kebesaran Nek Jubata, serta untuk memohon kepada Sang Pencipta (JUBATA) agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan malapetaka.

Upacara ritual pesta padi ini kerap dilaksanakan rutin setiap tahun dan dilaksanakan secara bergiliran di Kabupaten dan Kota di Kalbar, sebagai contoh Upacara Naik Danggo ke VII pernah dilaksanakan di Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat tepatnya di Desa Lingga, Kecamatan Sei. Ambawang pada tanggal 27 April 1992 dan 1993 upacara Naik Dango suku Dayak Kalbar diadakan di Kecamatan Menjalin, sedangkan pada tahun 2009 Naik Danggo diadakan di Singkawang.

Melalui kegiatan ini pula diharapkan dapat melestarikan berbagai seni kebudayaan Dayak yang memang memiliki beranekaragam pesona dalam bingkai kekayaan budaya Nusantara.

MAKNA NAIK DANGO:
Tahap pelaksanaan upacara Naik Dango yaitu sebagai berikut :
1. Sebelum hari pelaksanaan
Sebelum hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan pelantunan mantra (nyangahathn) yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada Jubata.
2. Saat hari pelaksanaan
Pada hari pelaksanaan dilakukan 3 kali nyangahathn :
• pertama di Sami, bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang agar datang kembali ke rumah adat.
• kedua di Baluh/Langko, bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi.
• ketiga di Pandarengan, tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.

Naik Dango merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kendayan yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Dalam Upacara Adat Naik Dango, selain acara inti yakni “nyangahathn”.
Upacara Adat Naik Dango intinya hanya berlangsung satu hari saja tetapi karena juga menampilkan berbagai bentuk budaya tradisional di antaranya berbagai upacara adat, permainan tradisional dan berbagai bentuk kerajinan tangan yang juga bernuansa tradisional, sehingga acara ini berlangsung selama tujuh hari. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Upacara Adat Naik Dango ini, menjadikannya sebagai even yang eksotis ditengah-tengah kesibukan masyarakat Dayak.

Upacara Adat Naik Dango merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (SEKBERKESDA) pada tahun 1986.3 perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat ucapan syukur kepada Jubata yang dilaksanakan Masyarakat Dayak Kendayan di Menyuke setiap tahun setelah masa panen padi usai.

Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan Upacara Adat pasca panen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketemanggungan. Inti dari upacara ini adalah nyangahathn yaitu pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi cucur), bontonkng (nasi yang dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.

ASAL MULA NAIK DANGO

Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi popular di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena tidak sunat. Cerita itu dimulai dari cerita asal mula padi berasal dari setangkai padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan Ne Jaek (Nenek Jaek) yang sedang mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala yang dia bawa menyebabkan ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan pertentangan di antara mereka sehingga ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata adalah Ne Baruankng Kulup. Ne Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain “Gasing”. Perbuatannya ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia. Ne Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan sumber kehidupan manusia, sebagai penganti “kulat” (jamur, makanan manusia sebelum mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan
manusia dan jubata yang menunjukan kebaikan hati Jubata bagimanusia.

Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kendayan antara lain , yaitu pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.

Dalam kemasan modern, upacara Adat naik Dango ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pameran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Naik Dango lebih menonjol sebagai pesta dari pada upacara ritual. Namun dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.

Perkataan ‘Kanayatn’ di kalangan suku Dayak Bakati’, Banana’-Ahe, dan Badamea di Kabupaten Bengkayang menjadi suatu istilah yang agak rancu. Seolah-olah diperebutkan untuk menamakan identitas global setiap subsuku Dayak di kabupaten ini. Hingga sekarang, istilah Kanayatn menjadi begitu penting untuk dibahas dalam perbincangan tentang Dayak khususnya pada orang-orang Dayak yang bermukim di wilayah Kabupaten Bengkayang, Sambas, Pontianak, dan Landak.
Istilah Kanayatn/Kanayat di kalangan suku Dayak Bakati’ dianggap sebagai istilah untuk menamakan seluruh orang-orang Dayak yang berbahasa Bakati’. Sedangkan bagi orang-orang Dayak yang berbahasa Banana’-Ahe dengan semua variannya istilah Kanayatn sudah cukup jauh merasuk ke dalam sanubari mereka, sehingga mereka mengidentikan diri mereka sebagai Dayak Kanayatn walaupun istilah ini masih baru bagi mereka.
Sejak diterbitkannya buku karangan Pastor Donatus Dunselman tahun 1949 dalam bahasa Belanda yang berjudul Bijdrage tot de kennis van de taal en adat der Kendajan Dajaks van west-Borneo, perbincangan tentang Dayak Kendayan menjadi semakin hangat. Ada kalangan penulis Dayak memperkirakan bahwa, kemungkinan Pastor Donatus Dunselman yang meneliti di beberapa kampung Dayak yang berbahasa Banana’, seperti Pak Kumbang, Tiang Tanjung, Ambawang, dan di beberapa kampung yang menjadi tempat pelayanan beliau, keliru menamakan orang-orang Dayak yang berbahasa Banana’ sebagai orang Kanayatn (Kendayan) (lihat Simon Takdir, 2002).
Dunselman yang meneliti di Kampung Pakumbang dengan fokus pada cerita-cerita rakyat dan lagu-lagu sakral, seperti baliatn dan balenggang untuk pengobatan menemukan adanya pengaruh bahasa Melayu terhadap bahasa ini (Kendayan). Sejak itu, istilah Kendayan atau Kanayatn kemudian semakin dipopulerkan di kalangan orang-orang Dayak yang berbahasa Banana’ dengan segala variannya. Notherfer (1997) menyebutnya Melayik. Dunselman sendiri dalam Cense dan Uhlenbeck (1958:15) menyebut orang-orang yang berbahasa Bakati’ Rara sebagai “Old-Kendayan” atau Kendayan Tua. Orang-orang Dayak yang hidup sebelum tahun 1950-an yang menuturkan bahasa Banana’ bersaksi bahwa pada waktu mereka kecil istilah Kanayatn atau Kendayan ini belum dikenal. Pada waktu itu orang-orang Dayak di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas menyebut diri mereka menurut istilah lokal. Dunselman juga menyebutkan beberapa subsuku Dayak yang beliau temui pada waktu itu, yaitu Dayak Ambawang, Dayak Ritok, Dayak Sambas, Dayak Tayan, Dayak Landak, Dayak Balantian, Dayak Temila, dan Dayak Manyuke.
Keberhasilan Partai Dayak mendudukan Oevang Urray, salah seorang tokoh Dayak dari Kapuas Hulu menjadi gubernur pertama Dayak di Kalimantan Barat pada masa Pemerintahan Orde Lama membuka cakrawala baru bagi orang Dayak untuk lebih aktif berpartisipasi dalam bidang politik. Sayang sekali, pada masa itu masih sangat sedikit orang-orang Dayak yang mengenyam pendidikan. Jika ada, itu pun berkat jasa dari sekolah misi Katolik yang dibangun oleh Misionaris Katolik asal Negeri Belanda, seperti yang diperoleh Gubernur Oevang Urray. Pada masa itu, kebutuhan untuk menyatukan orang Dayak dalam satu wadah dipandang begitu mendesak. Muncullah Partai Dayak, Partai Katolik, dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang berusaha mencari rumusan tentang wadah yang cocok untuk menyatukan Dayak.
Dengan jatuhnya kekuasaan Orde Lama dan dilarangnya partai politik yang berbau kesukuan hidup di Indonesia, maka masa kejayaan orang-orang Dayak menjadi singkat. Mereka tidak tahu ke mana harus mengaspirasikan suara mereka (lihat Albertus, 2003).
Para politikus Dayak pada awal Orde Baru melihat peluang yang besar untuk menyatukan Dayak di Partai Golkar. Dengan demikian, istilah Kanayatn atau Kendayan ini kemudian semakin dikuatkan lagi sebagai sarana pemersatu suku Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas sebelum pemekaran kedua wilayah ini. Malah, istilah Kanayatn ini semakin disosialisasikan di kalangan orang-orang Dayak yang berbahasa Banana'/Ahe dengan segala variannya.
Hal ini terbukti dengan adanya Kongres Dayak Kanayatn pada tahun 1985 di Anjungan yang melahirkan Gawai Naik Dango setiap tahun di Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Pontianak dan Landak).
Para politisi Golkar menggunakan istilah ‘Kanayatn atau ‘Kendayan’ untuk mengumpulkan suara orang Dayak Banana'-Ahe dengan berbagai variannya yang mayoritas di Kabupaten Pontianak. Sejak saat itu, Golkar menjadi partai yang tidak terkalahkan dalam meraih suara terbanyak pada setiap Pemilihan Umum di seluruh Indonesia termasuk di kalangan suku Dayak Kanayatn. Istilah ‘Kanayatn’ atau ‘Kendayan’ kemudian semakin dipopulerkan oleh para mahasiswa Dayak di tingkat Universitas pada tahun 1980-an. Buktinya adalah munculnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Mimbar Untan yang ditulis oleh Martinus Ekok.
Pada tanggal 1 April 1992 muncul siaran dalam bahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak yang tidak lain adalah bahasa Banana’atau Ba’ahe sekarang ini. Dengan demikian, istilah Kanayatn atau Kendayan untuk memberi identitas pada orang-orang Dayak yang menuturkan bahasa Banana’ atau Ba’ahe dengan seluruh variannya menjadi semakin berurat berakar pada orang-orang Dayak di Kabupaten Pontianak (sekarang Pontianak dan Landak) dan Sambas (sekarang Sambas dan Bengkayang). Pada waktu pertama kali muncul siaran Dayak Kanayatn ini, orang-orang Bakati’ di Bengkayang mengira bahwa bahasa yang akan digunakan adalah bahasa Bakati’.
Institut Dayakologi sejak berdiri tahun 1991 juga selalu menggunakan istilah Kanayatn atau Kendayan untuk menyebut orang-orang Dayak yang menuturkan bahasa Banana' atau Ba’ahe ini. Buktinya berupa terbitan-terbitan buku dan artikel yang membahas tentang Dayak Kanayatn.
Publikasi itu misalnya seperti yang ditulis oleh Nico Andasputra dalam bukunya yang berjudul Mencermati Dayak Kanayatn, Albert Rufinus dalam berbagai terbitan oleh Institut Dayakologi, dan penulis yang lain serta berbagai artikel yang diterbitkan di majalah Kalimantan Review (KR).
Albert Rufinus dan Tim Peneliti Dayak Kanayatn (2003) yang menulis buku tentang Tradisi Lisan Dayak Bukit di Sengah Temila masih rancu dan ragu-ragu menggunakan istilah Dayak Bukit. Buktinya, subjudul buku (Bab 2) hanya menggunakan istilah Tradisi Lisan Dayak Bukit. Namun seluruh isi dan pembahasan menggunakan istilah Kanayatn. Majalah Kalimantan Review Nomor 07 Tahun 3 April – Juni 1994 Halaman 33-34 menyoroti dua jenis pesta padi orang Dayak Kanayatn, yaitu Pesta Naik Dango Dayak Kanayatn (27 April 1994) di Kabupaten Pontianak yang pada waktu itu diselenggarakan di Serimbu, Kecamatan Air Besar dan Pesta Maka’ Dio (28 Mei 1994), upacara syukuran selepas panen pada masyarakat Dayak Kanayatn di Kabupaten Sambas. Pada waktu itu Kabupaten Sambas dan Bengkayang masih menyatu dalam Kabupaten Sambas.
Apa yang disoroti oleh KR pada waktu itu adalah dua jenis upacara adat pesta padi pada suku Dayak Bakati’, dan Dayak Banana’-Ahe dengan semua variannya. Namun istilah yang digunakan samasama sebagai Dayak Kanayatn, walaupun sangat jelas sekali secara kebahasaan mereka menuturkan dua bahasa dengan adat istiadat yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa istilah Kanayatn sama-sama dipakai oleh orang-orang Bakati’ dan orang-orang Banana’-Ahe, Badamea, Ampape, Banane’, dengan semua variannya untuk menamakan kelompok suku mereka. Albert Rufinus (1994:12-19) yang meneliti tentang Pengetahuan Dayak Kanayatn dalam Tradisi Lisan di Binua Talaga-Pahauman secara jelas menyebut identitas Dayak Kanayatn Bukit Talaga (hal 12), dan menyebutkan 10 kecamatan di Kabupaten Pontianak (sekarang Pontianak & Landak), yaitu Kecamatan Anjungan, Toho’, Mandor, Menjalin, Karangan, Banyuke (Menyuke), Sengah Temila, Ngabang, Air Besar, dan Ambawang sebagai kecamatan-kecamatan masyarakat Kanayatn (hal 17-18).
Hampir seluruh tulisan di KR masih merujuk istilah Kanayatn untuk kelompok suku Dayak yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe dengan segala variannya. Para sarjana dan ilmuan Dayak secara konsisten menggunakan istilah Kanayatn untuk menamakan penutur bahasa Banana’-Ahe, Badamea-Jare,Baampape dengan semua variannya. Seselia Seli (1996) dan Sujarni (1993) menulis cerita Riya Sinir dan Dara Itapm secara konsisten menggunakan istilah Kanayatn untuk menamai kelompok masyarakat pemilik tradisi ini. Demikian juga halnya dengan Dalawi (1996) yang menulis tentang Cerita Bukit Batu Sastra Lisan Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak, dan Hendrikus (1991) yang menulis tentang A Descriptive Study on Kandayan Simple Sentence.
Jadi, tidak diragukan lagi bahwa istilah ini sudah populer di kalangan orang Banana’-Ahe, Badamea, Baampape dengan semua variannya. Walaupun ada dugaan bahwa istilah Kanayatn telah dipolitisasi sedemikian rupa, namun fakta yang ada menunjukkan bahwa istilah ini tidak dapat dihilangkan begitu saja di kalangan orang-orang Dayak yang berbahasa Banana’-Ahe dengan segala variannya. Istilah ini telah menjadi bagian dari identitas orang-orang Dayak Banana’-Ahe dengan segala variannya yang menyebar di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas.
Dalam perjalanan penelitian lapangan etnolinguistik di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas dari tahun 1998 hingga tahun 2003, peneliti menemui beberapa kenyataan yang unik tentang istilah Kanayatn. Hampir di seluruh wilayah orang-orang Banana’-Ahe, Badamea-Jare, Baampape, Banane’, bahkan di beberapa Kampung Balangin, penulis bertanya kepada mereka, “Kalian ini disebut Dayak apa?” atau “subsuku Dayak apa?” hampir semua pertanyaan seperti ini, selalu dijawab, “Kami Dayak Kanayatn.”
Jika ditanya lagi, “Apa yang melatarbelakangi penyebutan Kanayatn ini?” atau “Bagaimana sejarahnya sampai disebut Dayak Kanayatn?” Mereka agak sukar menjawab pertanyaan ini. Yang mereka ketahui adalah bahwa mereka adalah orang-orang Kanayatn. Jika mereka dapat berbahasa Banana’-Ahe dengan varian- variannya maka mereka adalah Dayak Kanayatn.
Sewaktu melakukan penelitian di wilayah orang-orang Bakati’ dan Bakambai (dua bahasa yang sebetulnya sama), penulis malah dihadapkan dengan kenyataan bahwa Kanayatn atau Kanayat (penyebutan menurut logat wilayah adat) adalah sebuah istilah untuk menamakan seluruh penutur bahasa Bakati’ di Kabupaten Bengkayang, Sambas, dan Landak, serta bahasa Bakambai (Varian Banyadu’) di Kecamatan Meranti, Kabupaten Landak.
Hal ini sebetulnya pernah dikatakan oleh Pastor Dunselman (1949) yang menyebut Dayak Bakati’ Rara sebagai Old Kendayan atau Kanayatn Tua. Walaupun istilah Kendayan ini dipopulerkan pada orang-orang yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe dengan segala variannya, namun istilah ini tidak lenyap di kalangan orang-orang Bakati’. Hal ini dikarenakan faktor budaya terutama tradisi lisan yang menyatukan istilah ini dengan orangorang Bakati’.
Penjelasan yang telah dipaparkan di atas memperjelas bahwa istilah Kanayatn adalah milik orang-orang yang menuturkan bahasa Bakati’ dan Banana’-Ahe dengan segala variannya. Jadi menurut hemat penulis, istilah Kanayatn ini secara politis sebetulnya mengguntungkan karena dapat dijadikan sebagai wadah untuk menyatukan orang-orang Dayak di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas. Jika ditanggapi secara positif tidak akan menyebabkan pertentangan di kalangan suku Dayak di keempat kabupaten tersebut.Di kalangan suku Dayak Bakati’ dan Banana’, kata Kanayatn mempunyai arti yang berbeda-beda. Bahkan di kalangan sesama suku Dayak Bakati saja, pengertian Kanayatn pun tidak sama. Demikian juga halnya di kalangan sesama orang-orang yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe, Badamea-Jare, dengan semua variannya.
Perbedaan pengertian Kanayatn ini disebabkan oleh beberapa sebab. Pertama adalah tradisi lisan yang merupakan salah satu sumber yang sudah memudar di kalangan mereka. Yang kedua, orang-orang tua yang pakar adat istiadat semakin langka. Bahasa-bahasa adat untuk baliatn, balenggang, Nyangahatn|nyangahatn]], dan lain-lain yang dikuasai oleh para tua-tua Dayak ini ada yang sudah lenyap bersama mereka. Yang ketiga, kecenderungan sifat orang
Dayak yang suka dengan hal-hal yang sifatnya instan. Apa yang sudah jadi dan dibawakan oleh orang luar langsung diterima dan dianggap sebagai kebenaran. Hal ini terutama terjadi di kalangan generasi muda yang sudah bersentuhan dengan pengaruh globalisasi informasi. Pengertian Kanayatn di kalangan orang-orang Bakati’ yang hingga saat ini diketahui adalah sebagai berikut.
Di wilayah adat Bakati’ Kanayatn (Kendayan) Satango, Kanayatn berasal dari akar kata layat, yaitu jenis rotan untuk menjemur pakaian. Biasanya direntangkan di rumah panjang. Jenis rotan ini biasanya disebut juga ui jalayatn. Dari perkataan layat inilah kemudian lahir istilah Kanayatn sebagai akibat adanya perubahan bunyi bahasa dalam pengucapannya (informan: Alm. Pak Logek). Namun ada juga yang mengatakan Kanayatn berasal dari perkataan kenane karena ada Kampung Kinande di wilayah ini (informan: Pak Tunggu).
Di wilayah adat Bakati’ Sebiha’ diperoleh informasi bahwa pada zaman dulu Sungai Sambas yang mengalir di wilayah Ledo sekarang ini disebut Sungai Kanayatn. Dalam perkembangan selanjutnya, sungai ini kemudian disebut Sungai Sambas karena bermuara di Kota Sambas (informan: Pak Asin). Sedangkan nganae’ dalam bahasa Bakati’ Riok artinya ‘ke hulu’. Konsep ini berhubungan dengan sungai.
Di kalangan orang-orang Dayak yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe, Badamea-Jare dengan semua variannya, pengertian Kanayatn atau Kendayan adalah sebagai berikut.
Kanayatn berarti berasal dari keturunan Jubata. Ini merupakan bahasa asal yang berasal dari Jubata maka lagunya terdiri dari jonggan, kondan, dan sejenisnya (informan: Pak Lolon).
Bahasa Banana disebut bahasa Kanayatn karena berasal dari Jubata, sehingga semua perkataan atau bahasa untuk berdoa kepada Jubata (nyangahatn) menggunakan bahasa Banana’-Ahe dengan semua variannya (informan: dari daerah Banyadu’-Balacatn).
Kanayatn atau nganayatn artinya ‘membawa persembahan kepada Jubata karena semua pekerjaan telah selesai’. Dalam ritual tersebut terdapat sesajen untuk dipersembahkan kepada Jubata (Tuhan) dalam upacara adat dengan nyangahatn (informan: Pak Herkulanus Uten, wilayah Balangin).
Kanayatn artinya ‘membawa persembahan ke Subayatn untuk Jubata yang bersemayam di sana’ (informan tak diketahui).
Jika kita melihat kedua versi pengertian Kanayatn di atas maka tampak bahwa dari orang-orang Bakati pengertian Kanayatn dihubungkan dengan fakta-fakta alam, seperti nama tempat, tumbuhan, dan sungai. Sedangkan pada orangorang Banana’-Ahe, pengertian Kanayatn mengarah pada isu budaya, yaitu sistem religi dan tradisi lisan. Namun, semua doa-doa dalam bahasa upacara adat bagi penutur bahasa Banana’-Ahe dan Badamea-Jare, selalu dibamangan ke Bukit Bawakng. Padahal, di sekitar kaki Bukit Bawakng hanya ada orang-orang Dayak yang menuturkan bahasa Bakati’ bukan Banana’. Hal ini cukup menarik untuk dianalisis, mengingat perbedaan konsep tentang Kanayatn di kalangan kedua kelompok masyarakat Dayak yang menuturkan bahasa yang berbeda ini.
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam tradisi lisan pada suku Dayak Bakati’ dan Banana’ menunjukkan kesamaan walaupun latar ceritanya berbeda. Pada masyarakat Dayak yang bermukim di wilayah Menyuke dan Sengah Temila, telah populer tiga istilah untuk membedakan bahasa Dayak di empat Kabupaten ini, yaitu bahasa Ngabukit, Ngalampa’, dan Nganayatn. Bahasa Ngabukit ditujukan pada bahasa Banana’-Ahe dengan semua variannya. Bahasa Ngalampa’ ditujukan pada bahasa Baampape, Bakamene, Balangin, dengan semua variannya, yang tidak mirip betul dengan bahasa Banana’ namun masih menampakan saling kesepahaman yang tinggi. Sedangkan Bahasa Nganayatn ditujukkan pada bahasa Bakati’, Banyadu, dan Bakambai dengan segala variannya. Jika dianalisis nampak sekali bahwa pengertian Kanayatn ini memang tidak bisa diklaim sebagai milik orang Bakati’, Banyadu, atau Bakambai saja.
Akan tetapi, istilah ini juga milik orang-orang yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe, Badamea-Jare, Banane’, Baampape dengan segala variannya. Maka dapat disimpulkan bahwa, Kanayatn adalah istilah untuk menyebut subsuku Dayak di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas, yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe, Badame-Jare, Baampape dengan segala variannya juga bahasa Bakati’, banyadu’, dan Bakambai dengan segala variannya.

Pedagi(Tempat Penyembahan Apet Kuyan'gh, Jobata, Jubata)

Pedagi merupakan tempat untuk menaruh persembahan dalam upacara adat dayak Mali. mereka yakin bahwa pedagi merupakan rumah sementara jubata di dalam dunia ini. di pedagi itu orang datang untuk membawa niat,syukur dan silih atas segala apa yang di rencanakan selama hidupnya didunia. pedagi adalah tempat kedua setelah puncak gunung yang juga ada pedaginya yang merupakan memiliki penunggu yang berbeda. biasanya pedagi selalu dekat dengan rumah penduduk. mereka percaya bahwa yang menunggu pedagi tersebut adalah Apet Kuyan'gh yang memiliki sifat baik dan menjaga kampung. Apet Kuyan'gh selalu di identikan dengan orang tua yang sudah ubanan, berjengot putih dan bersorban. Apet Kuyan'gh dianggap peduli dengan keamanan kampung dan selalu memberi rejeki pada kehidupan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar